Tsaqafah

TAJDID AL-DIN VERSUS MODERNISASI AGAMA

Pendahuluan

Belakangan ini, ramai diarusutamakan gagasan moderasi agama. Sebuah gagasan beragama secara moderat. Jauh sebelum itu, dipromosikan juga gagasan modernisasi agama, yaitu gagasan beragama secara modern. Agama (Islam) harus adaptif dengan tatanan dunia global yang metropolitan. Cara berislam yang bersikeras berpegang teguh pada ajaran Islam, menginginkan tegaknya sistem Islam, dan menolak budaya Barat, dianggap kuno dan tidak berkemajuan. Standar modernisasi bukan lagi pada aspek teknologi, namun penerimaan pada pemikiran dan budaya Barat. Oleh karenanya, ortodoksi fikih Islam harus ditinjauulang. Benarkah modernisasi semacam itu memiliki landasan normatif dalam Islam berupa konsep tajdid? Untuk menjawab pertanyaan itu, tulisan ini disusun.

 

Konsep Tajdid al-Din dalam Islam

Kata jadid digunakan dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Kata tersebut juga sering dipakai oleh para ulama. Kata “tajdid” penting dijelaskan agar dapat dipahami maknanya secara tepat, sehingga tidak ada penyimpangan arti tajdid tersebut. Dalam hadis Rasulullah saw. disebutkan: “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun, orang yang memperbaharuhi agamanya”. Dalam riwayat yang lain, “seorang yang memperbaharui perkara ajaran agamanya.” (HR. Abu Daud)

Secara etimologi, tajdid berasal dari kata “jaddada” yang artinya memperbaharuhi, dan “tajaddada al-syai’”, artinya sesuatu itu menjadi baru. Dari sini, makna tajdid memberikan gambaran pada kita terkumpulnya tiga arti yang saling berkaitan: 1) bahwa sesuatu yang diperbaharuhi itu telah ada permulaannya dan dikenal oleh orang banyak; 2) bahwa sesuatu itu telah berlalu beberapa waktu, kemudian usang dan rusak; dan 3) sesuatu itu telah dikembalikan kepada keadaan semula sebelum usang dan rusak.[1] Nampak dari keterangan ini bahwa kata “jadid” (baru) lawan kata “qadim” yang artinya lama.

Jadi, secara bahasa, makna tajdid berkisar pada menghidupkan (al-ihya) membangkitkan (al-ba’ats) dan mengembalikan (al-i’adah). Makna-makna ini memberikan gambaran tentang tiga unsur yaitu keberadaan sesuatu kemudian hancur atau hilang kemudian dihidupkan dan dikembalikan.[2]

Dalam al-Qur’an sebenarnya tidak terdapat lafal jaddada atau tajdid, tetapi terdapat kata jadid, misalnya:

وَقَالُوٓا۟ أَءِذَا كُنَّا عِظَٰمًا وَرُفَٰتًا أَءِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقًا جَدِيدًا

Dan mereka berkata: “Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?” (QS. al-Isra: 49)

Demikian juga dalam ayat lainnya:

وَقَالُوٓا۟ أَءِذَا ضَلَلْنَا فِى ٱلْأَرْضِ أَءِنَّا لَفِى خَلْقٍ جَدِيدٍۭ ۚ بَلْ هُم بِلِقَآءِ رَبِّهِمْ كَٰفِرُونَ

Dan mereka berkata: “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan mereka ingkar akan menemui Tuhannya. (QS al-Sajdah: 10)

Kata tajdid juga terdapat dalam hadis Nabi saw., diantaranya hadis shahih yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا

Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui untuk umat agama mereka (HR. Abu Dawud)

            Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda:

جَدِّدُوا إِيمَانَكُمْ “، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيمَانَنَا؟ قَالَ: ” أَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

“Perbaharuilah iman kamu!” Ada seorang yang bertanya: “Bagaimana kami memperbaharuhi iman kami?” Beliau bersabda: “Perbanyaklah mengucapkan lâ ilâha illa Allâh.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)

Sebagian ulama mendefinisikan tajdid sebagai upaya menghidupkan kembali apa yang telah hilang dan terhapus dalam penerapan isi al-Qur’an dan al-Sunah, serta perkara yang wajib dikerjakannya.[3] Seorang ulama salaf, Sahal al-Su’luqi (w. 389 H), mengatakan: “Allah mengembalikan agama ini sesudah terhapus sebagian dari padanya, melalui Ahmad bin Hambal, Abu Hasan al-Asy’ari, dan Abi Nu’aim al-Istirabazi.”[4] Pendapat di atas dapat dipahami, bahwa agama itu pada mulanya adalah sempurna, kemudian dengan berlalunya zaman mengalami distorsi dalam penerapannya, kemudian melalui ketiga ulama di atas agama dikembalikan kepada keadaan asalnya. Jadi, menurut pengertian Abu Sahal al-Su’luqi bahwa tajdid adalah mengembalikan agama kepada keadaan semula sebagaimana pada masa salaf yang pertama. Namun menurut beliau, istilah yang tepat adalah “tajdid al-fikr al-islami”, sebab yang diperbaharui adalah pemahaman, pemikiran, metode pengajaran, dan pengamalan ajaran agama tersebut.

Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, istilah yang tepat justru adalah “ta’lim al-din” sebagai ganti dari “tajdid al-din”, berdasarkan hadis Nabi saw.: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus dalam setiap penghujung abad, orang yang mengajarkan agamanya” (HR. Abu Bakar al-Barraz).[5]

Terdapat satu hadis Nabi saw. yang menerangkan korelasi ijtihad dan tajdid. Ketika itu, Nabi saw. mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman. Nabi saw. bertanya kepada Mu’az: “Dengan apa kamu menghukumi sesuatu?” Jawabnya: “Dengan al-Quran.” Kemudian Nabi saw. bertanya lagi: “Apabila tidak kamu dapatkan?” Jawabnya: “Dengan al-Hadis.” Kemudian Nabi saw. bertanya lagi: “Apabila tidak kamu dapatkan?” Jawabnya: “Aku ber-ijtihad dengan pendapatku.” (HR. Abu Daud, al-Darimi, Ahmad dan al-Baihaqi)

Jadi ijtihad merupakan sarana untuk melakukan tajdid, yaitu pemecahan masalah yang baru yang belum ada di zaman Nabi Muhammad saw., namun tetap berpijak pada sumber hukum Islam.

Tajdid adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan/ditinggalkan dari ajaran-ajaran Islam guna membangun kehidupan kaum muslim berdasarkan aturan Islam. Jadi tajdid adalah upaya mengembalikan umat agar menjalani kehidupan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. sesuai dengan pemahaman ulama salaf shalih dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti jejak langkah mereka dalam beragama.

Dengan demikian, tajdid dalam Islam bukan berarti membuat Islam yang baru, tetapi mengembalikan cara beragama kepada masa Rasulullah saw. dan al-Khulafa al-Rasyidun berdasarkan sumber-sumbernya.

 

Pembaharuan Agama Versi Barat dan Bahayanya

Kata modernisme tidak berarti hanya berorientasi kepada kemodernan, tetapi merupakan sebuah terminologi khusus yang intinya adalah memodernisasi pemahaman agama. Modernisme agama membawa konsekuensi berupa reaktualisasi berbagai ajaran keagamaan (ortodoksi Islam) agar dapat sejalan dengan pemahaman filsafat ilmiah. Di sisi lain, modernisme adalah sebuah gerakan yang begerak secara aktif untuk melumpuhkan prinsip-prinsip keagamaan agar tunduk kepada nilai-nilai, pemahaman, persepsi, dan sudut pandang Barat.[6]

Jika tajdid hendak menghidupkan kembali ajaran Islam yang telah terhapus dan terlupakan dan dikembalikan kepada masa Islam awal (salaf), sedangkan modernisme adalah usaha untuk mewujudkan relevansi antara Islam dan pemikiran abad modern yaitu dengan meninjau kembali ajaran–ajaran Islam dan menafsirkannya dengan interpretasi baru, untuk menjadikan Islam sebagai agama modern yang kompatibel dengan peradaban Barat. Di antara umat Islam terdapat beberapa tokoh yang melakukan modernisasi agama, seperti Syed Ahmad Khan, Mohammad Iqbal, Qosim Amin, dan Ali Abdul Raziq.

Pelopor modernisme di dunia Islam adalah Sayid Ahmad Khan yang lahir di India. Ia berusaha menyelaraskan ajaran Islam dengan pengetahuan modern. Caranya adalah dengan jalan menafsirkan kembali ajaran agama sesuai dengan pengetahuan modern.[7] Tampaknya, Syed Ahmad Khan berusaha keras untuk melestarikan peradaban Barat dan membuka jalan bagi kaum Muslim untuk meniru peradaban Barat.

Mohamad Iqbal dalam gagasan modernisasinya juga mempromosikan sekularisme. Iqbal mengagumi Kemal Attaturk dari Turki yang sekular. Padahal jelas sekali apa yang dilakukan Attaturk merupakan westernisasi secara membabibuta. Tetapi Iqbal menganggapnya sebagai suatu ijtihad untuk menegakkan kembali ajaran Islam sesuai dengan pemikiran dan pengalaman modern, yakni ijtihad dalam masalah politik dan agama, yang berpijak kepada pengalaman empiris dan bukan pada pemikiran para ahli fikih klasik (fuqaha).[8]

Adapun ide pokok yang diperjuangkan Qasim Amin adalah agar wanita muslimah melepaskan diri dari tradisi-tradisi masa lalu, untuk kemudian mencontoh wanita Barat. Hal ini tercantum dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah. Ia banyak berbicara tentang hijab, talak, poligami, serta pengajaran dan pekerjaan wanita dalam Islam. Bagi Amin, syariah Islam adalah perkara yang tidak tetap, melainkan selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Ia juga beranggapan bahwa tidak semua perkataan Nabi saw. merupakan bagian dari agama.[9]

Lain lagi dengan Ali Abd al-Raziq. Raziq diantara yang melakukan modernisasi agama dalam bentuk sekularisasi Islam. Dalam bukunya yang berjudul al-Islam wa Ushul al-Hukm, ia menakwilkan hukum-hukum al-Qur’an, al-Sunah, dan fikih yang disesuaikan dengan pemikiran Barat, dan menjadikan kitabnya sebagai puncak produk pemikiran modern. Raziq lebih mengedepankan substansi dari sebuah pemerintahan, yakni menegakkan keadilan. Ia tidak menghiraukan penamaan dari pemerintahan Islam (sistem khilafah).[10]

Demikianlah para modernis berbicara tentang modernisasi Islam yaitu dalam rangka menyeleraskan Islam dengan peradaban Barat, bahkan menolak apapun yang datang dari Islam jika bertentangan dengan peradaban Barat.

 

Kebutuhan Umat Hari Ini

Dengan melakukan pengkajian secara mendalam atas apa yang terjadi di tubuh umat Islam saat ini dan motif di balik gagasan modernisasi agama, dapat disimpulkan bahwa dunia sebenarnya tidak membutuhkan apa yang disebut dengan modernisasi ajaran Islam agar sesuai dengan peradaban Barat. Dunia justru membutuhkan tajdid yang salah satu bentuknya adalah ijtihad para ulama pada masalah baru yang muncul dan pengamalan produk ijtihad tersebut (fikih) secara sempurna.

Jika mujaddid (pembaharu) itu hadir setiap penghujung 100 tahun, maka umat Islam dalam kurun waktu sebelum munculnya mujaddid selanjutnya, cukup merujuk kepada para ulama yang ikhlas. Ulama yang berijtihad dalam perkara baru yang muncul dan melakukan pendidikan ajaran dan fikih Islam kepada umat.

Selaras dengan itu, penting untuk mencermati ungkapan dari Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya, Syari’ah Allah al-Khalidah. Beliau menegaskan bahwa pengamalan fikih Islam secara benar justru akan menjadi kunci kebangkitan dan kebaikan. Beliau menyampaikan: “Sekiranya kaum muslimin hari ini menerapkan hukum-hukum fikih dan agama (Islam) sebagaimana para pendahulu mereka, niscaya mereka akan menjadi umat yang terdepan dan paling bahagia.” [11]

Memang benar kita membutuhkan adanya tajdid dalam Islam. Namun makna tajdid sebenarnya adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan/ditinggalkan dari ajaran-ajaran Islam agar kembali tegak dalam realitas kehidupan. Jadi tajdid adalah upaya mengembalikan umat kepada kehidupan Islam secara menyeluruh (kaffah) yang tegak di atas sumber-sumber hukum Islam sebagaimana pemahaman ulama salaf al-shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti jejak langkah mereka dalam beragama.

Kita paham bahwa tajdid dalam Islam bukan berarti membuat Islam dengan wajah baru yang tunduk pada peradaban Barat. Adapun ijtihad merupakan sarana untuk melakukan tajdid, yaitu pemecahan masalah yang baru yang belum ada di zaman Nabi Muhammad saw., namun tetap berpijak pada sumber hukum Islam dengan kaidah-kaidah tertentu.

 

Penutup

Jelaslah bahwa tajdid dalam Islam berbeda dengan modernisasi. Keduanya berbeda secara konsep dan implementasi. Apa yang dilakukan kaum modernis bukanlah tajdid sebagaimana yang dilakukan para mujaddid dalam Islam. Apa yang mereka lakukan lebih dekat dengan taghrib (westernisasi), bahkan sekulariasi ajaran Islam. Karena memang Islam tidak menafikan adanya inovasi kreatif dan dinamis dalam perkara teknis kehidupan seperti sains dan teknologi. Oleh karenanya tidak berlebihan jika gencarnya promosi moderasi agama belakangan ini, meski dalam tampilan yang lebih soft, harus dibaca sebagai perang pemikiran yang tujuannya sama, yaitu menjadikan Islam tunduk pada peradaban Barat. Modernisasi dan moderasi Islam hakikatnya sama yaitu mengajak umat agar berislam dengan cara yang dikehendaki Barat. Wallahu a’lam.

Ditulis Oleh: Yuana Ryan Tresna

 

[1] Lihat Bustami Muhammad Sa’id, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam, Terj. Mahsun al-Mundzir, hlm. 2-3.

[2] Lihat Busthami Muhammad Sa’id, Mafhum Tajdid ad-Din, hlm. 18.

[3] Lihat Al-Manawî, al-Faid al-Qadir, Juz 1, hlm. 10.

[4] Lihat Ibn Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftara, hlm. 53.

[5] Lihat Ibn Hajar, Tawali al-Ta’sis, hlm. 48.

[6] Lihat Muhammad Hamid al-Nasir, Menjawab Modernisasi Islam, Terj. Abu Umar Basyir, hlm. 181-182.

[7] Lihat Ahmad Khan, “Reenterpretation of Moslem Theology”, dalam John J. Donohue dan John L. Espesito (ed), Islam In Transition and Prespektives, hlm. 61-64.

[8] Lihat Muhammad Iqbal, Tajdid al-Fikr al-Din fi al-Islam, Terj. Abbas Mahmud al-Aqad, hlm. 182.

[9] Lihat Muhammad Imarah, Al-Masiriyun – al-A’mal al-Kamilah li Qasim Amin, Juz I, hlm. 292.

[10] Lihat Dhiya’u al-Din al-Rais, al-Islam wa al-Khilafah fi al-’Asri al-Hadis; Naqd li Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm, hlm. 256-257.

[11] Lihat Sayyid Muhammad bin Alawi, Syari’ah Allah al-Khalidah, hlm. 7.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *