Tsaqafah

ASPEK POLITIK KHUTBAH HAJI WADA’ RASULULLAH

Pendahuluan

Nabi Muhammad Saw. di akhir hayatnya menunaikan ibadah haji yang dikenal dengan nama haji wada’. Saat melaksanakan haji tersebut, Nabi berkhutbah di hadapan kaum muslim. Beliau berkhutbah tidak hanya sekali. Beliau berkhutbah di hari Arafah, di hari Nahr, dan di pertengahan hari Tasyriq. Beliau Saw. berwasiat, memberi nasihat, dan memberi pengarahan sehingga ketika beliau meninggalkan umat ini, beliau telah meninggalkan umatnya dalam keadaan terang-benderang, malamnya bagaikan siang, dan tidaklah orang yang berpaling dari apa yang beliau ajarkan kecuali akan binasa. Khutbah Rasulullah pada momen haji wada’ tersebut mengandung aspek politik yang sangat penting bagi umat Islam baik dulu, sekarang, maupun yang akan datang.

Aspek Politik Khubah Rasulullah

Khutbah haji wada’ Rasulullah adalah momen penting dalam memberikan arahan kepada umat Islam. Aspek politik pada khutbah tersebut sangat dominan, karena menyangkut kepentingan bersama umat Islam dan terkait urusan umat Islam di dalam dan luar negeri. Beliau Saw. mengawali salah satu khutbahnya dengan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ! اسْمَعُوا مَا أَقُولُ لَكُمْ، فَإِنِّي لا أَدْرِي لَعَلِّي لا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِي هَذَا فِي هَذَا الْمَوْقِفِ.

“Wahai manusia, dengarlah apa yang akan aku katakan. Sebab sungguh, aku tidak tahu, apakah aku bisa berjumpa lagi dengan kalian setelah tahun ini, di tempat ini.” (HR. Al-Baihaqi, al-Thabari, Abu Awanah)

Khutbah ini telah membuat sedih siapa saja yang mendengarnya. Karena khutbah tersebut menyiratkan sebuah perpisahan panjang. Rasulullah menyampaikan beberapa wasiat politik sebagai berikut:

Pertama, perlindungan darah dan harta. Hal yang paling ditekankan oleh Nabi Saw. dalam khutbah haji wada’ adalah menjaga darah (tidak menumpahkan darah), harta, dan kehormatan. Berkali-kali hal ini beliau sampaikan dalam khutbah haji wada’. Hadits ini mengisyaratkan harus adanya institusi negara yang menjaga harta dan setiap tetes darah kaum muslim.

Dari Jabir bin Abdullah ra., ia mengatakan ketika matahari mulai tergelincir pada hari Arafah, Nabi Saw. berkhutbah,

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darah dan harta kalian haram seperti sucinya hari kalian ini di negeri kalian ini dan di bulan kalian ini.” (HR. Muslim)

Pada keesokan harinya, yakni di hari Nahr, beliau kembali berkhutbah dengan nasihat yang mendalam. Dari Ibnu Abbas ra. dan yang lainnya, Rasulullah Saw. berkata dalam khutbahnya,

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فَأَعَادَهَا مِرَارًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ

“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram seperti sucinya hari kalian ini di negeri kalian ini dan di bulan kalian ini.” Beliau ulang beberapa kali. Kemudian beliau menengadahkan kepalanya dan berdoa, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan? Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan?” (HR. Bukhari dan Muslim).

Beliau menekankan perkara yang besar ini dan memperingatkan umatnya akan besarnya dosa perbuatan tersebut. Bahkan dalam hadits lain riwayat Imam Bukhari, beliau menyebut bahwa membunuh seorang muslim lainnya adalah kekufuran. Memang bukan termasuk kafir yang membuat seseorang keluar dari Islam, melainkan merupakan dosa besar.

Kedua, ikhlas beramal, mengoreksi penguasa dan bergabung dalam jamaah. Dari Jabir bin Muth’im ra., ia berkata,

قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْخَيْفِ مِنْ مِنًى فَقَالَ : ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُؤْمِنٍ : إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ ، وَالنَّصِيحَةُ لِوُلَاةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ

“Rasulullah Saw. berdiri di kaki bukit Mina seraya bersabda, ‘Tiga perkara dimana hati orang beriman tidak akan berkhianat kepadanya: mengikhlaskan perbuatannya hanya karena Allah, memberi nasihat kepada penguasa kaum muslim dan bergabung dengan jamaah (kelompok) mereka. Karena doa mereka akan selalu menyelimuti (meliputi) di belakang mereka”.” (HR. Ibnu Majah)

Ketiga permasalahan ini hendaknya selalu hadir pada diri seorang muslim; niat ikhlas karena Allah dalam setiap amalannya, memberi nasihat kepada penguasa dan tidak mengkhianati mereka, dan menjaga persatuan umat di bawah kepemimpinan mereka. Ketiga hal ini tidaklah terwujud kecuali dengan adanya persatuan dan kesatuan umat. Adapun umat tidak akan bersatu kecuali dengan adanya pemimpin, dan tidak ada artinya pemimpin jika tidak ditaati.

Ketiga, kesatuan berdasarkan mabda Islam dan ukhuwah Islamiyyah. Rasulullah bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِىٍّ عَلَى أَعْجَمِىٍّ وَلاَ لِعَجَمِىٍّ عَلَى عَرَبِىٍّ وَلاَ لأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

“Wahai manusia, ingatlah, Tuhan kalian satu. Bapak kalian juga satu. Ingatlah tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, dan bagi orang non-Arab atas orang Arab, tidak bagi orang berkulit merah atas kulit hitam, dan bagi orang berkulit hitam atas kulit merah, kecuali ketakwaannya.” (HR. Ahmad)

Hadits tersebut dengan tegas menetapkan bahwa rasisme hukumnya haram. Melakukan rasisme adalah hal yang tidak sesuai dengan fitrah manusia; merendahkan, meremehkan hingga menghina orang lain karena beda suku dan warna kulit.

Membangun ikatan umat atas dasar ras dan suku juga tidak boleh, disamping hal itu merupakan ikatan yang rapuh. Akumulasi dari ikatan sukuisme adalah nasionalisme. Ikatan sukuisme dan nasionalisme adalah ikatan yang emosional, bukan ikatan yang didasarkan pada sebuah akidah rasional yang memancarkan sistem. Islam menetapkan bahwa ikatan yang kokoh adalah ikatan mabda Islam, yaitu dilandasi akidah Islam yang melahirkan sistem kehidupan.

Keempat, wajib mengikuti sunnah al-khulafa’ al-rasyidun dalam pemerintahan. Rasulullah juga berwasiat bahwa sistem pemerintahan yang harus diikuti adalah yang merujuk pada sunnah Rasulullah dan contoh para khalifah pengganti beliau dari khulafa’ ar-rasyidin. Dalam sebuah riwayat disebutkan dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariah ra. dia berkata: “Rasulullah Saw. memberikan kami nasihat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata: “Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat.” Rasulullah Saw. bersabda,

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

“Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Swt., tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena di antara kalian ada yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah Khulafa’ Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari bid’ah, karena semua perkara bid’ah adalah sesat” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Hadits di atas adalah hadits politik yang sangat penting dan agung. Rasulullah berwasiat beberapa hal: (1) bertakwa kepada Allah; (2) patuh dan taat kepada pemimpin dalam pemerintahan Islam, bagaimanapun kondisinya; (3) setelah zaman kenabian akan ada banyak perselisihan; (4) perintah mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw.  dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidun yang mendapat petunjuk (dalam hal penyelenggaraan pemerintahan); (5) perintah berpegang teguh pada sunnah seperti menggigit sesuatu dengan gigi geraham; dan (6) larangan perilaku bid’ah, karena bid’ah adalah kesesatan.

Beliau Saw. memerintahkan untuk menaati para pemimpin karena di dalamnya terdapat maslahat yang besar. Dan dalam kesempatan yang lain, masih di momen di haji wada’, beliau kembali menekankan hal ini,

وَلَوْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا

“Seandainya yang memerintah kalian seorang budak Habsyi berdasarkan Kitabullah, maka dengar dan taatilah.” (HR. Muslim).

Perintah Rasul Saw. untuk menaati pemimpin yang secara syar’i tidak boleh (seperti budak) merupakan bentuk al-mubalaghah (hiperbola). Hal itu menegaskan betapa pentingnya ketaatan kepada pemimpin. Karena memang, para ulama sepakat bahwa seorang hamba sahaya tidak boleh diangkat menjadi pemimpin. Seorang hamba sahaya tidak punya hak tasharruf (pengurusan) atas dirinya sendiri, apalagi diberi hak tasharruf  atas orang lain.

Dengan menukil pendapat para ulama, Imam al-Nawawi menjelaskan lafazh ‘yaqudukum bikitabillah’, “Maknanya adalah selama para pemimpin itu berpegang teguh dengan Islam, menyerukan Kitabullah, bagaimanapun kondisi mereka dalam hal diri mereka sendiri, keagamaan dan akhlak mereka, dan tidak dipatahkan tongkat atas mereka. Namun, jika tampak dari mereka kemungkaran maka mereka diperingatkan dan diingatkan.” (Al-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, 4/422)

Selanjutnya adalah penjelasan agar kita mengikuti sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidun. Lafazh al-khulafa’ adalah jamak dari kata khalifah, istilah khalifah itu sendiri jelas identik dengan “kepemimpinan siyasah” sedangkan istilah sunnah adalah “metode/manhaj”, menunjukkan adanya sunnah (manhaj) para khalifah (di kalangan shahabat) berkaitan dengan kepemimpinan, yang diperjelas dalam hadits lainnya. Rasulullah Saw. dan al-Khulafa’ al-Rasyidun yang menegakkan manhaj pemerintahan dalam Islam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits, “Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad)

Khalifah Umar bin Abdul Aziz menegaskan:

“Rasulullah Saw.  dan para ulil amri setelahnya (khulafa’ rasyidin) telah menggariskan adanya sunnah, yakni sikap berpegang teguh pada Kitabullah, dan menyempurnakan keta’atan kepada Allah, menegakkan kekuatan (fondasi kehidupan) di atas Din Allah, tidak boleh ada seorang pun dari makhluk-Nya yang boleh mengubahnya, tidak boleh pula menggantikannya (dengan sunnah selainnya), dan tidak dilihat sedikit pun apapun yang menyelisihi sunnah tersebut, siapa saja yang mengambil petunjuk darinya maka ia menjadi orang yang tertunjuki, siapa saja yang mencari kemenangan dengannya maka ia akan diberikan kemenangan, dan siapa saja yang meninggalkannya dengan mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Allah akan menyerahkan dirinya pada apa ia jadikan tempat bergantung (selain Allah), dan menyeretnya ke dalam Jahannam, dan ia adalah seburuk-buruknya tempat kembali.” (Al-Ajurri al-Baghdadi, Al-Syari’ah, juz I, hlm. 40)

Pada hadits tersebut, Rasulullah juga berpesan  agar berpegang pada sunnah. Hal itu digambarkan dalam bentuk kalimat yang bernilai balaghah, yakni al-isti’arah al-tamtsiliyyah, dimana Rasulullah Saw.  meminjam ungkapan “’adhdhu ‘alaiha bi al-nawajidz”, gigitlah dengan gigi geraham yang kuat, untuk menggambarkan keteguhan dalam berpegang pada sunnah, yakni jalan hidupnya Rasulullah Saw.  dan al-Khulafa’ al-Rasyidun. (Ibn Rajab, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, juz II, hlm. 126.)

Kelima, menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai dasar sistem kehidupan. Nilai apapun yang posisinya menggantikan al-Quram dan al-Sunnah hakikatnya adalah “jalan” baru selain syariat Allah. Kata Imam Ibnu Katsir, ia adalah jalan menuju kerugian, kehancuran, dan kebinasaan.

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»

“Wahai umat manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim dan al-Baihaqi)

Usai Baginda Nabi Saw. menyampaikan Khutbah Wada’, turunlah firman Allah Swt.:

 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الأسْلاَمَ دِيناً

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Maidah [5]: 3).

Penutup

Demikianlah aspek politik dari khutbah Rasulullah dalam momen haji wada’; merupakan wasiat kepada kita agar membangun sistem hidup berdasarkan Islam. Berdasarkan QS. al-Jatsiyah: 18-19, Allah Swt. memerintah kita agar senantiasa menjalankan semua syariah yang sudah Allah tetapkan. Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya (7/267), “Ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” Kemudian beliau melanjutkan, “Tiada bermanfaat bagi mereka pertolongan sebagian mereka kepada sebagian yang lain; karena sesungguhnya tiada yang mereka peroleh selain dari kerugian, kehancuran, dan kebinasaan.” Allahu a’lam. []

Yuana Ryan Tresna

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *