Tsaqafah

PERBEDAAN ANTARA IJTIHAD DAN REKONTEKSTUALISASI FIKIH ISLAM

Oleh: Yuana Ryan Tresna

 

Pendahuluan

Beralasan dunia terus mengalami perubahan, Menteri Agama (Menag) RI Yaqut Cholil Qoumas melihat pentingnya melakukan rekontekstualisasi sejumlah konsep fikih atau ortodoksi Islam dalam rangka merespon tantangan zaman. Hal itu ia sampaikan saat memberikan sambutan pada pembukaan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang ke-20 di Surakarta, Senin (25/10/2021). Namun benarkah fikih Islam harus dilakukan rekontekstualisasi sehingga bisa menjawab perubahan zaman? Ataukah justru yang dibutuhkan adalah ijtihad dan penerapan fikih Islam dalam rangka memberikan jawaban atas perubahan dunia yang dinamis? Tulisan ini akan mengulas perbedaan mendasar antara ijtihad dengan rekontekstualisasi fikih ala Menag.

 

Fikih dan Syariah Islam

Gagasan rekontekstualisasi fikih Islam tidak lepas dari pandangan minor terhadap fikih Islam. Beberapa kesalahpahaman dalam memahami fikih diantaranya adalah:

Pertama, fikih dianggap sebagai hukum syariat yang bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi, waktu, dan tempat. Di antara argumentasi yang dijadikan dalih untuk mendukung  anggapan ini adalah adanya qawl qadîm dan qawl jadîd-nya Imam al-Syafi‘i serta adanya perbedaan fatwa hukum yang dikeluarkan oleh para ulama dalam kasus yang sama pada tempat, kondisi, dan waktu yang berbeda. Kenyataan ini dianggap sebagai bukti bahwa fikh bisa berubah karena perubahan tempat, kondisi, dan waktu.

Kedua, fikih dianggap berbeda dengan syariat. Fikih digali dari nash yang zhanni, bisa disesuaikan dengan kondisi dan fakta, sedangkan syariat digali dari dalil yang qath‘i. Pemahaman fikih semacam ini telah menempatkan fikih pada kondisi interpretasi (on interpretation), sedangkan syariat pada kondisi nir-interpretasi.

Ketiga, dari sisi metodologi, sebagian orang menganggap bahwa fikih boleh saja digali berdasarkan fakta, kondisi, dan momentum yang sedang berkembang.   Lebih dari itu, muncul anggapan bahwa dalil untuk masalah fikih tidak harus didasarkan pada dalil-dalil syariat. Fikih bersifat fleksibel dan dinamis, tidak sebagaimana syariat. Akibatnya, perkara yang sudah jelas hukumnya bisa diinterpretasi ulang berdasarkan realitas dan kenyataan. Lahirlah kemudian, ‘fikih realitas’ (fiqh al-wâqi‘), ‘fikih keseimbangan’ (fiqh al-muwâzanah), dan sebagainya, yang digali berdasarkan realitas, serta menggunakan metodologi istinbâth (penggalian hukum) yang serampangan.

Imam al-Ghazali berpendapat bahwa fikih (fiqh) secara bahasa bermakna al-‘ilm wa al-fahm (ilmu dan pemahaman).[1] Demikian juga menurut Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, secara bahasa, fikih bermakna pemahaman (al-fahm).[2]

Sementara itu, secara istilah, para ulama mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat praktis (‘amaliyyah) yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci (tafshîlî).[3]

Adapun syariat/syariah (syarî‘ah) didefinisikan oleh para ulama ushul sebagai perintah al-Syâri‘ (Pembuat Hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba (para ulama menyebutnya mukallaf( dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi).[4]

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa fikih dan syariat adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan meskipun keduanya bisa dibedakan.  Keduanya saling berkaitan dan berbicara pada aspek yang sama, yakni hukum syariat. Bedanya, fikih dihasilkan oleh ijtihad seorang mujtahid. Sehingga hasil ijtihad tersebut bisa berbeda antara seorang mujtahid dengan mujtahid lainnya.

Hal penting yang harus dipahami adalah bahwa baik fikih maupun syariat harus digali dari dalil-dalil syariat: al-Quran, Sunnah, Ijmak Shahabat, dan Qiyas. Keduanya tidak boleh digali dari fakta maupun kondisi yang ada. Keduanya juga tidak bisa diubah-ubah maupun disesuaikan dengan realitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, realitas masyarakat justru harus disesuaikan dengan keduanya. Istilah fikih digunakan oleh para ulama kalau membicarakan pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang bersifat praktis, yang didasarkan pada dalil-dalil yang terperinci (kasus-perkasus).

 

Ijtihad dan ketentuannya

Secara bahasa, kata ijtihâd merupakan pecahan dari kata jâhada, yang artinya badzl al-wus‘i (mencurahkan segenap kemampuan).[5] Ijtihad juga bermakna, Istafrâgh al-wus‘i fî tahqîq amr min al-umûr mustalzim li al-kalafat wa al-musyaqqaq (mencurahkan seluruh kemampuan dalam meneliti dan mengkaji suatu perkara yang meniscayakan adanya kesukaran dan kesulitan.[6]

Adapun para ulama ushul fikih mendefinisakan ijtihad dengan, istafrâgh al-wus‘î fî thalab azh-zhann bi syai’i min ahkâm asy-syar‘iyyah ‘alâ wajh min an-nafs al-‘ajzi ‘an al-mazîd fîh (mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil zhanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan).[7]

Berdasarkan definisi di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa iijtihad adalah proses menggali hukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat zhanni dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan hingga tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari itu. Dengan kata lain, suatu aktivitas diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga poin berikut ini:

Pertama, ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni al-dalalah (zhan secara penunjukkannya).  Menurut Imam al-Amidi, hukum-hukum yang sudah qath‘i (pasti) tidak digali berdasarkan proses ijtihad. Artinya, ijtihad tidak berhubungan atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat qath‘i, tetapi hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni al-dalalah.

Kedua, ijtihad adalah proses menggali hukum syariat, bukan proses untuk menggali hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung (ma‘qûlât) maupun perkara-perkara yang bisa diindera (al-mahsûsât). Penelitian dan uji coba di dalam laboratorium hingga menghasilkan sebuah teori maupun hipotesis tidak disebut dengan ijtihad.

Ketiga, ijtihad harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan puncak kemampuan hingga taraf tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari apa yang telah dilakukan.  Seseorang tidak disebut sedang berijtihad jika ia hanya mencurahkan sebagian kemampuan dan tenaganya, padahal ia masih mampu melakukan upaya lebih dari yang telah ia lakukan.[8]

Adapun seseorang dikatakan layak untuk berijtihad jika telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Pertama, memahami dalil-dalil sam‘i (naqli) yang digunakan untuk membangun kaidah-kaidah hukum. Maksud dengan dalil sam‘i adalah al-Quran, al-Sunnah dan Ijmak.  Seorang mujtahid harus memahami al-Quran, ak-Sunnah dan Ijmak berikut klasifikasi dan kedudukannya. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk memahami, mengompromikan (jam’), melakukan nasakh, atau  melakukan tarjîh terhadap dalil-dalil yang bertentangan (ta’arudh).

Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu makna yang sejalan dengan pemahaman orang Arab dan dipakai oleh para ahli balâghah. Seorang mujtahid disyaratkan harus memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk memahami makna suatu kata, makna balâghah-nya, dalâlah-nya, pertentangan makna yang dikandung suatu kata, serta mana makna yang lebih kuat.[9]

 

Perbedaan ijtihad dengan Rekontekstualisasi Fikih Saat Ini

Sebagaimana definisi ijtihad di atas, lingkup ijtihad hanya terbatas pada penggalian hukum syariat dari dalil-dalil zhanni. Ijtihad tidak boleh memasuki wilayah yang sudah pasti (qath‘i), maupun masalah-masalah yang bisa diindera dan dipahami secara langsung oleh akal.

Dalam al-Quran ada ayat-ayat yang jelas penunjukkannya (qath‘i), ada pula yang penunjukkannya zhanni. Ijtihad tidak boleh dilakukan pada ayat-ayat yang jelas (qath‘i) maknanya, misalnya masalah-masalah akidah, kewajiban shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Perkara-perkara semacam ini bukanlah lingkup ijtihad. Sebab,  masalah-masalah seperti ini sudah sangat jelas dan tidak boleh ada kesalahan di dalamnya.

Ijtihad hanya terjadi dan berlaku pada wilayah furû‘ (cabang) dan zhanni.  Perkara-perkara semacam ini disebut perkara ijtihadiah. Disebut demikian karena ia masih membuka ruang terjadinya perbedaan interpretasi. Adapun perkara yang melibatkan dalil qath‘i, tidak boleh disebut sebagai perkara ijtihadiah.

Meski demikian ijtihad memiliki ketentuan-ketentuan (dhawabith) dan syarat-syarat (syuruth) yang baku dan ketat. Tidak bisa dilakukan semena-mena dan oleh semua orang berdasarkan kepentingan dan hawa nafsunya. Hal itu berbeda dengan gagasan “rekontekstualisasi” fikih yang merupakan istilah baru untuk menutupi motif sebenarnya. Rekontekstualisasi fikih Islam tidak lebih dari upaya untuk menafsir-ulang teks-teks syariat dan menundukkan syariat Islam dan fikih Islam pada realitas. Rekontekstualisasi fikih sama sekali tidak memiliki dhawabith dan syuruth yang baku dan ketat. Gagasan itu sarat dengan kepentingan untuk melakukan moderasi agama Islam.

 

Fikih Sumber Kejumudan?

Tantangan fikih Islam sekarang dan masa depan sebenarnya adalah ijtihad untuk memecahkan masalah baru yang muncul. Jika masalah baru tersebut tidak diberikan pemecahan berdasarkan hukum Islam, maka umat bisa berpaling pada pemecahan lain selain Islam. Tantangan selanjutnya adalah penerapan fikih Islam dalam semua sisi kehidupan. Fikih yang bisa dijalankan oleh umat Islam saat ini adalah terkait dengan ibadah mahdhah. Itupun sekadar pelaksanaan, belum pada aspek penjagaan dan penegakkan hukum bagi yang melanggar.

Dengan demikian, pangkal kejumudan bukanlah fikih Islam, melainkan ketika tidak ada ijtihad pada masalah baru yang muncul, lalu umat tidak tahu solusi islami atas masalah tersebut, dan akhirnya umat Islam tidak lagi berpegang pada aturan (fikih) Islam. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah Swt.,

 

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

 “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta…”. (QS. Thaha: 124)

Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah, “menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya.” [10] Sedangkan penghidupan yang sempit tidak lain adalah kehidupan yang semakin miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya, tertindas dan sebagainya, sebagaimana yang kita saksikan dan rasakan sekarang ini di dunia Islam. Oleh karenanya syariat dan fikih Islam harus tegak dalam kehidupan ini.

Padahal dalam al-Quran maupun al-Sunnah telah banyak ditegaskan bahwa Islam adalah jawaban dari semua problem kehidupan baik yang dulu, sekarang maupun yang akan datang. Allah Swt. menegaskan dalam surah al-Nahl ayat 89.

Abdullah Ibn Mas’ud ra menjelaskan QS. Al-Nahl ayat 89, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya[11]:  “Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal”. Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Quran telah menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat di era kontemporer ini. Dalam ungkapan lain, fikih Islam adalah jawaban atas realitas kontemporer saat ini.

 

Kebutuhan Saat Ini

Dengan melakukan pengkajian secara mendalam atas apa yang terjadi di tubuh umat Islam saat ini dan motif di balik gagasan rekontekstualisasi fikih, dapat disimpulkan bahwa dunia sebenarnya tidak membutuhkan apa yang disebut dengan rekontekstualisasi ortodoksi Islam. Dunia justru membutuhkan ijtihad para ulama pada masalah baru yang muncul dan pengamalan produk ijtihad tersebut (fikih) secara sempurna.

Selaras dengan itu, penting untuk mencermati ungkapan dari Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya, Syari’ah Allah al-Khalidah. Beliau menegaskan bahwa pengamalan fikih Islam secara benar justru akan menjadi kunci kebangkitan dan kebaikan. Beliau menyampaikan,

 

“Sekiranya kaum muslimin hari ini menerapkan hukum-hukum fikih dan agama (Islam) sebagaimana para pendahulu mereka, niscaya mereka akan menjadi umat yang terdepan dan paling bahagia.” [12]

Memang benar kita membutuhkan adanya tajdid dalam fikih. Namun makna tajdid sebenarnya adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan/ditinggalkan dari ajaran-ajaran agama guna mereformasi kehidupan kaum muslim secara umum ke arah yang lebih baik. Jadi tajdid adalah upaya mengembalikan umat kepada Islam yang tegak di atas al-Quran dan al-Sunnah Rasulullah saw. sesuai dengan pemahaman ulama salaf shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti jejak langkah mereka dalam beragama.

Dengan demikian, tajdid dalam Islam bukan berarti membuat Islam yang baru, tetapi mengembalikan Islam kepada masa Rasulullah saw. dan al-Khulafa al-Rasyidun berdasarkan sumber-sumbernya. Adapun ijtihad merupakan sarana untuk melakukan tajdid, yaitu pemecahan masalah yang baru yang belum ada di Zaman Nabi Muhammad saw., namun tetap berpijak pada sumber hukum Islam.

 

Penutup

Lanjutan dari gagasan rekontekstualisasi fikih adalah usaha meninjau kembali ajaran Islam yang dianggap tidak relevan lagi dan menafsirkannya dengan interpretasi baru, untuk menjadikan Islam sebagai agama moderat. Ayat-ayat jihad dan qishah ditafsir-ulang. Ajaran khilafah ditinjau-ulang. Islam harus menjadi agama “damai” yang menengahi Timur dan Barat. Padahal itu jauh dari prinsip wasathiyyah umat Islam. “Ummat[an] wasatha[n]” adalah umat yang adil, bukan umat yang guncang tanpa prinsip. Apa yang mereka lakukan hingga hari ini adalah bentuk liberalisai dengan cover moderasi dan rekontekstualisasi. Bahkan lebih jauh lagi itu merupakan bentuk sekulariasi ajaran Islam. []

[1] Lihat al-Ghazali, Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl, hlm. 5; al-Razi, Mukhtâr al-Shihâh, hlm. 509; al-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/9.

[2] Lihat Taqiyyuddin al-Nahbani, al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/5.

[3] Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, III/5; al-Amidi, I/9; al-Syaukani, hlm. 3.

[4] Lihat Taqiyyuddin al-Nahbani, III/31; al-Amidi, I/70-71; al-Syaukani, hlm. 7.

[5] Lihat al-Razi, hlm.114.

[6] Lihat al-Amidi, II/309.

[7] Lihat al-Amidi, hlm. 309; al-Nabhani, I/197.

[8] Lihat al-Amidi, II/309.

[9] Lihat Taqiyyuddin al-Nabhani, I/213-216; al-Amidi, II/309-311.

[10] Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, V/323.

[11] Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, juz IV hlm. 594

[12] Lihat Sayyid Muhammad bin Alawi, Syari’ah Allah al-Khalidah, hlm. 7.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *