Hadits

Muqaranah Syarah Hadits dari Ragam Madzhab (Aplikasi Kaidah Qath’iyyah Al-Wurûd wa Al-Dilâlah)

Oleh: Yuana Ryan Tresna

Pendahuluan

Pembahasan hukum dalam kitab-kitab syarah Hadits, khususnya syarah al-kutub al-sittah, pada umumnya memiliki corak pemikiran hukum sesuai dengan madzhab penulisnya, karena setiap penulis kitab syarah Hadits akan menggali kandungan hukum dalam Hadits-Hadits yang mereka syarah berdasarkan pola ijtihad madzhabnya. Mengingat ushul fiqh dalam satu madzhab berbeda dengan ushul fiqh di madzhab lain, maka dipastikan aplikasi kaidah qath’iyyah al-wurûd wa al-dilâlah dalam syarah Hadits berbeda-beda. Sehubungan dengan itu, maka kitab-kitab syarah Hadits yang diteliti dalam tulisan ini dipilih empat kitab syarah Hadits yang ditulis oleh para ulama yang dapat mempresentasikan madzhab masing-masing. Dari madzhab Hanafi dipilih kitab `Umdat al-Qârî Syarah Shahîh al-Bukhâri karya Al-`Ayni (w. 855 H), dari madzhab Maliki dipilih kitab Shahîh al-Bukhâri Syarah Ibn Baththal (W. 449 H)dari madzhab Syafi`i dipilih kitab Fath al-Bârî Syarah Shahîh al-Bukhâri karya Ibn Hajar al-`Asqalani (w. 852 H), dari madzhab Hanbali dipilih Fath al-Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri karya Ibn Rajab (w. 795 H). Apabila dalam salah satu kitab tersebut tidak diperoleh data dimaksud, maka akan dicari dari kitab lain yang mensyarah Hadits yang sama karya ulama dari madzhab yang sama.

Dalam rangka menggambarkan perkembangan metode dan detail-detail syarah Hadits, maka pembahasan metode syarah dan aplikasi kaidah qath’iyyah al-wurûd wa al-dilâlah terhadap kitab-kitab tersebut selanjutnya akan berdasarkan generasi para penulisnya. Oleh karena itu pembahasan akan dimulai dengan kitab Shahîh al-Bukhâri Syarah Ibn Baththal (W. 449 H) dari madzhab Maliki, lalu kitab Fath al-Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri karya Ibn Rajab (w. 795 H) dari madzhab Hanbali, lalu Fath al-Bârî Syarah Shahîh al-Bukhâri karya Ibn Hajar al-`Asqalani (w. 852 H) dari madzhab Syafi`i, lalu kitab `Umdat al-Qârî Syarah Shahîh al-Bukhâri karya Al-`Ayni (w. 855 H) dari madzhab Hanafi.

Contoh Kasus 1

Untuk membandingkan aplikasi tersebut dipilih syarah terhadap Hadits sama dalam keempat kitab Hadits tersebut. Secara lebih rinci Hadits-Hadits yang diteliti syarahnya adalah Hadits-Hadits Shahih al-Bukhâri pada Kitab V, Kitab al-Ghusl (Kitab Mandi). Kitab al-Ghusl ini terdiri atas 29 bab dengan jumlah Hadits 45 Hadits, akan tetapi Hadits-Hadits yang diteliti syarahnya adalah Hadits pada lima bab pertama, yaitu 9 Hadits (No. 248-257).

Dilihat dari aspek wurûd-nya seluruh Hadits dimaksud termasuk dalam katagori Hadits shahih, mengingat kriteria Hadits shahih yang dituliskan Al-Bukhari secara umum sangat ketat sehingga para tokoh umat sepakat untuk menerima seluruh Haditsnya.

Oleh karena itu, berikut ini contoh aplikasi qath’iyyah al-dilâlah dalam empat kitab syarah Shahih al-Bukhâri,

5 – الغسل

1 – باب الْوُضُوءِ قَبْلَ الْغُسْلِ .

248 حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ، ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّه

249 – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِى الْجَعْدِ عَنْ كُرَيْبٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَتْ تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ ، وَغَسَلَ فَرْجَهُ ، وَمَا أَصَابَهُ مِنَ الأَذَى ، ثُمَّ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ، ثُمَّ نَحَّى رِجْلَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ، هَذِهِ غُسْلُهُ مِنَ الْجَنَابَةِ

Kedua Hadits di atas merupakan Hadits fi`li, artinya Hadits yang berupa tindakan Rasulullah Saw., sedangkan kalimatnya disusun oleh istri-istri Rasulullah Saw., Hadits yang pertama disusun oleh A’isyah dan yang kedua oleh Maimunah. Kalimat itu merupakan laporan mereka atas apa yang mereka lakukan dan mereka saksikan dari tindakan Rasulullah Saw. Dilihat dari wudhûh al-dilâlah, maka kalimat-kalimatnya menggunakan kata-kata hakikat dengan sejumlah istilahyang secara `urf digunakan pada tempatnya. Oleh karena itu lafal-lafalnya termasuk katagori nashsh, sehingga dilâlah-nya adalah qath`iy. Akan tetapi petunjuk hukum Hadits fi`li tidak sepenuhnya terletak pada petunjuk lafalnya, melainkan perlu dipertimbangkan wilayah temanya. Apabila temanya tentang ibadah, maka Rasulullah Saw. mempunyai otoritas tertinggi untuk diikuti tindakannya dan secara umum Al-Quran mewajibkannya. Akan tetapi tindakan Rasulullah Saw. itu sendiri memiliki hukum. Dalam kaitannya dengan tata-cara mandi ada beberapa tindakan pokok yang mesti diikuti oleh umatnya dan ada sejumlah tindakan pelengkap yang sangat baik diikuti untuk kesempurnaan mandi. Menentukan tindakan-tindakan tersebut merupakan persoalan tersendiri dan berkaitan dengan pendapat madzhab. Artinya kesimpulan dengan pendekatan kebahasaan belum final, melainkan masih dihadapkan kepada dalil-dalil lain yang terkait, sehingga boleh jadi kesimpulan akhirnya bisa berbeda.

Ibn Baththal dalam mensyarah Hadits ini dan Hadits-Hadits berikutnya langsung mengemukakan petunjuk utamanya, sangat jarang membahas redaksi, kecuali kata kunci saja. Ia menyatakan bahwa para ulama sepakat atas disunnahkannya berwudhu’ sebelum mandi, mengikuti contoh Rasulullah Saw.

Dalam mengungkap petunjuk Hadits ia hanya menfokuskan pembahasannya pada tema pokok Hadits yang ditulis oleh Al-Bukhari, sehingga ia tidak mengungkap petunjuk lain dalam Hadits yang disyarah. Jadi ia hanya mengungkap petunjuk secara umum. Ia selalu memperkuat kesimpulan pembahasannya dengan mengutip sejumlah riwayat yang sesuai, di antara dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa ia tidak memandang berwudhu’ itu bagian dari kesunnahan mandi, baik sesudah maupun sebelumnya.[1]

Ibn Baththal tidak terlihat bagaimana mengaplikasikan kaidah qath’iyyah al-wurûd wa al-dilâlah terhadap Hadits riwayat Al-Bukhari. Di antara tokoh persyarat Hadits dari kalangan madzhab Maliki adalah Qadhi `Iyadh (w. 544 H).

Qadhi `Iyâdh mensyarah Shahih Muslim dengan judul Ikmâl al-Mu`lim untuk menyempurnakan syarah karya Al-Maziri (w. 543 H) yang juga dari madzhab Maliki, Al-Mu`lim bi Fawâ’id Muslim.[2] Dalam syarahnya ia membahas detail-detail makna Hadits. Hanya saja ia sangat fokus kepada petunjuk hukum dalam Hadits. Dalam mensyarah Hadits ini ia mengungkap sejumlah petunjuk sebagai berikut, 1) disunnahkan mencuci tangan bagi orang yang baru bangun tidur atas dasar ta`abbudi, atau karena dalam waktu lama tangannya tidak terkena air sehingga hukumnya mustahabb, atau karena najis sehingga hukumnya wajib; 2) Mendahulukan mencuci tangan kanan lalu mencuci tangan kiri sambil membersihkan kemaluan. Hal ini merupakan efisensi, karena apabila tangan kiri dicuci tersendiri, maka ketika mencuci kemaluan akan terkena najis lagi, sehingga tidak ada gunanya mencuci tangan kiri secara terpisah sebelum mencuci kemaluan; 3) Berwudhu seperti untuk shalat telah maklum. Dalam kaitannya dengan mandi tidak ada pengulangan wudhu’, dan pengulangan wudhu’ itu sama sekali tidak memiliki keutamaan; 4) Menyela-nyela pangkal rambut kepala dapat mempermudah sampainya air ke kulit kepala, maka hukumnya wajib; 5) Menyiram kepala tiga kali disunnahkan karena dilakukan Rasulullah Saw., untuk menunjukkan kesungguhan dan kesempurnaan bersuci. Hal ini disyariatkan karena boleh jadi satu kali siraman tidak mencukupi; 6) Dalam Hadits Maimunah maupun A’isyah dinyatakan Rasulullah Saw. melimpahkan atau mengalirkan air ke seluruh tubuh. Riwayat ini dijadikan hujjah oleh Al-Syafi`i tentang tidak wajibnya menggosok badan dalam mandi maupun wudhu’. Sedangkan dalam madzhab Maliki hal itu wajib karena pada tubuh manusia terdapat banyak lipatan dan lekukan yang air tidak akan sampai ke seluruh permukaan kulit tanpa dibantu dengan tangan atau yang semisalnya; 7) Rasulullah Saw. menjauhkan kakinya dari tempat mandinya lalu membasuhnya. Hal ini tidak memberi petunjuk yang pasti sebagai pembasuhan anggota wudhu’ terakhir, melainkan boleh jadi karena kotoran yang mengenainya.[3]

Ibn Rajab (w. 795 H) dalam Fath al-Bâri mensyarah kedua Hadits tersebut di atas satu persatu. Dalam mensyarah Hadits pertama[4] ia mengemukakan tiga kesimpulan, yaitu dua kesimpulan pertama merupakan kesimpulan dari kata-kata kunci dan kesimpulan ketiga merupakan kesimpulan akhir. Ia mengawali kesimpulannya dari petunjuk lafal “bi ghasli yadayh”, bahwa hal itu serupa dengan mencuci tangan sebelum berwudhu’. Ia mengutip sejumlah Hadits untuk mendukung pendapatnya itu dan menyebutkan kualitas Hadits-Hadits tersebut. Kemudian ia membahas kata kunci yang berkaitan dengan judul bab Shahîh al-Bukhâri, yaitu lafal “tsumma yatawadhdha’u kamâ yatawadhdha’u li al-shalât”, lafal ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. berwudhu secara sempurna sebelum membasuh kepala dan seluruh tubuhnya. Selanjutnya ia mengemukakan riwayat lain yang menggunakan redaksi serupa dengan sejumlah lafal tambahan (takhrij dan i`tibar). Kesimpulan umum dari Hadits pertama adalah tentang rincian tata cara berwudhu’ sebelum mandi. Tata cara berwudhu’ sebelum mandi adalah berwudhu’ secara sempurna hingga menyapu kepala dan membasuh kedua kaki. Ia memastikan bahwa semua pendapat tersebut sejalan dengan petunjuk Hadits A’isyah. Selain itu, ia mengemukakan argumentasi atas kesimpulan tersebut dengan mempertegas posisi riwayat A’isyah sebagai kebiasaan Rasulullah Saw., sedangkan Hadits Maimunah yang mengakhirkan basuhan kedua kakinya setelah mandi sebagai kejadian yang bersifat insidental.

Ia mengawali pembahasan Hadits kedua, dari Maimunah r.a.[5], dengan menyatakan Hadits ini menegaskan bahwa Rasulullah Saw. tidak membasuh kaki ketika berwudhu’ sebelum mandi, melainkan menundanya hingga selesai mandi. Menurutnya lafal “Hâdzâ ghusluhu min al-janâbah” bukan dari kata-kata Maimunah, melainkan dari seorang periwayatnya, yaitu Salim bin Abu al-Ja`d.

Setelah membahas kedua Hadits ini Ibn Rajab mengemukakan satu kesimpulan bahwa kedua Hadits ini menunjukkan disunnahkannya berwudhu’ sebelum mandi dan tidak boleh menundanya hingga selesai mandi. Untuk memperkuat kesimpulan tersebut ia mengemukakan sejumlah Hadits dan atsar sahabat serta pendapat para ulama bahwa tidak ada wudhu’ setelah mandi. Kemudian ia menegaskan bahwa berwudhu’ setelah selesai mandi sama sekali tidak didukung oleh satu Hadits shahihpun,[6] kecuali mandi karena haid, maka berwudhu’setelah mandi.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Ibn Rajab sangat memperhatikan kejelasan petunjuk lafal, maka ia mensyarah Hadits secara rinci dan berusaha menyimpulkan petunjuk hukumnya dengan `ibârat al-nashsh. Ia tidak secara tegas mewajibkan berwudhu sebelum mandi, tapi keterangannya sedemikian menekankan bahwa seorang yang akan mandi harus berwudhu’ secara sempurna. Dalam madzhab Hanbali wudhu’ termasuk wajib dalam mandi.

Ibn Hajar al-`Asqalani (w. 852 H) mengawali syarahnya dalam bab ini dengan menegaskan disunnahkannya wudhu’ sebelum mandi. Selanjutnya ia mengutip pernyataan Al-Syafi`i dalam Al-Umm, “Allah Swt. menfardhukan mandi dengan kata-kata yang mutlak tanpa menyebutkan sesuatu yang harus dikerjakan sebelumnya. Maka bagaimanapun caranya seseorang mandi, maka telah mencukupinya selama ia telah mencuci seluruh badannya.”

Dalam mensyarah Hadits-Hadits dalam bab ini al-`Asqalani sangat rinci, setiap kalimat dikomentarinya. Hadits pertama (No. 248) kalimat pertama إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ disimpulkannya bahwa Rasulullah Saw. mencuci kedua tangan sebelum mandi itu boleh jadi sekadar untuk membersihkan tangan dari sejumlah kotoran dan boleh jadi sebagai pelaksanaan tasyri`. Kalimat kedua كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ mengisyaratkan bahwa wudhu’ tersebut bukan sekadar wudhu dalam arti bahasa, melainkan wudhu` dalam pengertian syariat. Boleh jadi wudhu’ sebelum mandi merupakan kesunnahan tersendiri. Buktinya semua anggota wudhu’ wajib dibasuh juga di dalam mandi. Boleh jadi wudhu’ sebelum mandi merupakan upaya mendahulukan anggota tubuh yang mulia, sehingga tidak wajib membasuhnya lagi dalam mandi, hanya saja wajib niat mandi janabah pada awal basuhan anggota wudhu’. Kalimat ketiga يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ menyela-nyela rambut kepala dengan jari-jari yang telah dicelupkan ke dalam air ada dua manfaat, yaitu untuk mempermudah mengalirnya air ke pangkal rambut dan untuk menghindarkan dari sentuhan mendadak dinginnya air. Hukumnya disepakati tidak wajib kecuali bagi orang yang rambutnya terlalu lebat dan bisa menghalangi air ke kulit kepala. Penggunaan kata kerja bentuk sekarang (fi`l mudhari`) berfungsi melibatkan para pendengar kepada peristiwa seakan-akan tengah berlangsung. Kalimat keempat يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ menunjukkan disunnahkannya menigakalikan basuhan dalam mandi. Tidak ada perselisihan pendapat dalam hal ini. Kalimat terakhir يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّه menunjukkan tidak wajib menggosok badan dalam mandi. Kalimat ini juga memperkuat petunjuk bahwa wudhu’ sebelum mandi merupakan kesunnahan tersendiri.[7]

Pada syarah Hadits kedua Al-Asqalani menjelaskan dua orang rawinya, yaitu Muhammad bin Yusuf dan Sufyan. Ia melengkapi data identitas kedua rawi tersebut dengan menyebutkan nisbat mereka, yaitu Muhammad bin Yusuf al-Firyabi dan Sufyan al-Tsawri. Hal ini dilakukan untuk mengoreksi pensyarah lain, yaitu Al-Kirmani, yang menegaskan sebagai Muhammad bin Yusuf al-Baykandi dan Sufyan bin Uyaynah.

Pada Hadits kedua ini secara tegas dinyatakan bahwa Rasulullah Saw. tidak mebasuh kedua kakinya ketika berwudhu’ sebelum mandi dan secara tegas pula dinyatakan beliau mencuci keduanya di akhir mandi. Para rawi Hadits ini yang meriwayatkannya dari al-A`masy lebih tsiqah dibanding Hadits sebelumnya. Oleh karena itu Al-Asqalani memposisikan Hadits ini lebih kuat tingkat kehujjahannya. Tapi menurut Al-Nawawi cara yang paling shahih adalah menyempurnakan wudhu sebelum mandi. Berkenaan dengan mencuci kaki atau anggota tubuh lainnya satu kali atau dua kali Ibn Daqiq al-`Id menyatakan bahwa satu kali basuhan cukup untuk dua hal, yaitu membersihkan kotoran atau najis dan sekaligus untuk bersuci dari hadats. Al-`Asqalani mengakhiri syarah kedua Hadits ini dengan mengungkap sejumlah pelajaran darinya, yaitu 1) Boleh minta tolong persiapan air untuk mandi; 2) pelayanan istri kepada suami; 3) menuangkan air dengan tangan kanan ke tangan kiri untuk mencuci kemaluan; 4) mencuci dua telapak tangan terlebih dahulu sebelum mencuci kemaluan agar tidak memasukkan kotoran yang terbawa tangan ke dalam air mandi, tapi apabila air berada dalam bejana semisal kendi atau teko, maka lebih utama mencuci kemaluan terlebih dahulu; 5) Dalam riwayat Abu Hamzah bahwa Maimunah menyodorkan kain untuk menyeka air yang menempel di tubuh Rasulullah Saw., tapi beliau tidak menerimanya. Hal ini menunjukkan beberapa kemungkinan, yaitu makruh mengelap air setelah mandi, boleh jadi bukan karena makruh tapi karena hal-hal tertentu pada kain yang disodorkan, boleh jadi karena tergesa-gesa, boleh jadi untuk melestarikan keberkahan air wudhu, boleh jadi karena khawatir akan ditiru dan menjadi sunnah yang diikuti. Al-Taymi menyatakan bahwa sebenarnya biasanya Rasulullah Saw. suka menyeka sisa air, sebab bila tidak demikian, tidak mungkin Mainumah menyodorkannya. Ibn Daqiq al-`Id menyatakan bahwa tindakan Rasulullah Saw. mengibaskan tangan untuk menghilangkan sisa air mandi menunjukkan bahwa menyeka sisa air dengan sapu tangan dan sejenisnya tidak makruh, karena sama-sama menghilangkan bekas air mandi. Sedangkan dalam madzhab Syafi`i hukum mengelap sisa air mandi ada lima, yaitu lebih baik tidak melakukannya, makruh, mubah, mustahabb, makruh di musim kemarau dan mubah di musim hujan. Penolakan Rasulullah Saw. juga menunjukkan bahwa sisa air mandi itu suci.[8]

Uraian di atas menunjukkan bahwa sebagai seorang ulama Syafi`iyyah Ibn Hajar Al-`Asqalani di awal pembahasannya menegaskan tindakan pokok yang wajib dilakukan dalam mandi janabah, yaitu mengalirkan air ke seluruh permukaan tubuh dengan niat mandi, lalu tindakan apapun selain itu dinilai sebagai hal-hal yang sunnah dalam mandi yang sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan untuk mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi dalam ibadah mandi janabah.

Badruddin al-`Ayni dalam `Umdat al-Qâri sangat banyak meniru apa yang dilakukan Al-`Asqalani, sejak mengutip pernyataan Al-Syafi`i dalam Al-Umm, seperti yang dilakukan oleh al-`Asqalani di atas. Demikian juga dalam pembahasan kalimat-perkalimat, hanya saja ia membuat sistimatika pembahasan dengan judul sub-sub bab, seperti dzikru rijâlihi wa lathâ’ifi isnâdihi (menjelaskan para rawinya dan problematika sanadnya), dzikru lughâtihi wa i`râbihi wa ma`ânihi (penjelasan aspek kebahasaan, struktur kalimat dan maknanya), dan bayân istinbâth al-ahkâm (penjelasan penggalian hukum). Sebagian besar uraian dalam sub-sub bab ini merupakan kutipan dari apa yang dilakukan Al-`Asqalani. Ketika ia menyatakan “Qâla ba`dhuhum” maka isinya adalah pernyataan Al-`Asqalani.

Dalam pembahasan sub bab bayân istinbâth al-ahkâm (penjelasan penggalian hukum) kata-kata yang mengandung petunjuk hukum dianalisis dengan sangat rinci. Di antaranya dari lafal أَنَّ النَّبِىَّ كَانَ disimpulkan bahwa berwudhu’ sebelum mandi menjadi kebiasaan Rasulullah Saw.Lafal كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ menunjukkan tidak perlu menunda membasuh kaki. Lafal فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ menyela-nyela pangkal rambut menurut kawan-kawan kami (ulama Hanafiyyah) hukumnya wajib di dalam mandi dan sunnah di dalam wudhu. Kemudian ia menyebutkan pendapat ulama dalam madzhab lain tentang menyela-nyela pangkal rambut kepala dan menigakalikan basuhan dalam mandi. Dari lafal ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّه tidak bisa dipahami petunjuk menggosok tubuh.

Dalam mensyarah Hadits kedua sub bahasan ini diberi judul bayânu mâ fîh, yaitu dalam rangka membandingkan kalimat yang terdapat dalam Hadits Maimunah ini dan tidak terdapat dalam Hadits A’isyah. Lafal yang pertama adalah غَيْرَ رِجْلَيْهِ yang menegaskan diakhirkannya basuhan kaki dalam berwudhu’ sebelum mandi. Lafal ini dijadikan hujjah oleh para ulama Hanafiyyah bahwa orang yang berudhu sebelum mandi hendaklah ia mengakhirkan basuhan kaki. Lafal وَغَسَلَ فَرْجَهُ maksudnya adalah mencuci dzakar. Meskipun dalam riwayat lain lafal ini disebut setelah berwudhu’, namun tidak berarti menunjukkan urutan yang demikian. Lafalوَمَا أَصَابَهُ مِنَ الأَذَى menunjukkan benda suci yang menjijikkan atau najis yang tidak tampak. Lafal هَذِهِ غُسْلُهُ yang dalam riwayat aslinya adalah dengan bentuk mudzakkar, yaitu هَذَا غُسْلُه.

Selanjutnya ia menegaskan kembali kalimat-kalimat dalam Hadits Maimunah yang tidak terdapat dalam Hadits A’isyah, yaitu mengakhirkan pembasuhan kaki, penegasan mencuci zakar, mencuci tangan dari kotoran, lalu menggosok-gosokkan tangan kirinya ke tanah. Ia juga mengemukakan riwayat Maimunah selain yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Ia mengutip keterangan Al-Nawawi tentang hukum menggunakan penyeka air setelah mandi dan menyebutkan pelajaran yang diambil dari Hadits-Hadits di atas, seperti yang dilakukan Al-`Asqalani. Ia mengutip Hadits-Hadits riwayat yang lain dalam tema yang sama.[9]

Uraian di atas menunjukkan bahwa Al-`Ayni sebagai seorang ulama Hanafiyyah agak aneh bila ia mengutip pernyataan Al-Syafi`i mengenai prinsip mandi yang hanya mengalirkan air ke seluruh tubuh satu kali siraman disertai niat, tanpa apa-apa lagi. Sementara dalam madzhab Hanafi diwajibkan menyela-nyela rambut kepala, seperti halnya dalam madzhab Maliki.

Contoh Kasus 2

Contoh lainnya adalah syarah Hadits tentang hukum jilatan anjing pada bejana. Mayoritas ulama menerima seutuhnya Hadits Abu Hurairah tentang cara mencuci wadah air yang dijilat anjing dengan tujuh kali basuhan.[10] Mereka berkesimpulan bahwa petunjuk Hadits itu menunjukkan wajib dan bahwa anjing itu nasjis dengan tingkatan paling berat (mughallazhah). Kemudian mereka meng-qias-kan najisnya babi kepadanya.[11] Hadits tersebut diriwayatkan melalui sejumlah sahabat, sehingga mencapai derajat masyhur dengan beberapa redaksi yang salah satunya menggunakan kalimat yang tegas menyebutkan hukum jilatan, sehingga termasuk lafal muhkam yang petunjuknya qath`iy. Namun demikian tidak semua ulama berkesimpulan seperti di atas. Imam Malik bin Anas pada prinsipnya tidak menolak petunjuk Hadits itu, tapi ia mempertanyakan hakikatnya.[12] Maka ia menyatakan bahwa mencuci tujuh kali itu hanya sunnah dilakukan secara ta`abbudi dan bahwa anjing itu tidak najis. Sementara itu Abu Hanifah menganggap bilangan tujuh kali pencucian bukan sebagai sebuah persyaratan yang mutlak, melainkan cukup dengan tiga kali cucian atau yang diduga kuat dapat menghilangkan najisnya.

Dalam mensyarah Hadits di atas Al-`Asqalâniy[13] mengawalinya dengan membahas redaksi Hadits, yaitu menjelaskan lafal “walagha” yang menurutnya memiliki makna yang lebih umum daripada “syariba”, karena “walagha” itu memasukkan ujung lidah, baik disertai meminum airnya (syariba) maupun tidak. Sementara itu Al-Syawkaniy[14] mengawali syarah Hadits ini dengan melibatkan Hadits lain yang menurutnya memiliki petunjuk yang sama atau yang mendukungnya. Kemudian ia menjelaskan pengertian dan dilâlah lafal “walagha” serta lafal-lafal berikutnya dengan mengutip uraian Al-`Asqalâniy dalam Fath al-Bâri dan sumber lainnya.

Kedua pensyarah mengungkapkan hasil istinbâth mereka dengan bahwa hukum air dan wadahnya najis dan wajib dicuci tujuh kali atas jilatan anjing.” Dilanjutkan dengan menyebut ulama atau kelompok yang berpendapat demikian.

Mereka meletakkan Hadits pada posisi yang memiliki otoritas tertinggi setelah Al-Quran dan mereka tunduk kepadanya.[15] Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan keberadaan Hadits yang menunjukkan najisnya anjing meskipun Al-Quran dan Hadits lain jelas-jelas membenarkan penggunaan anjing sebagai sarana berburu dan menghalalkan hewan buruan yang mati karena diterkam anjing, baik dengan gigi taringnya maupun dengan kukunya, serta tidak memerintahkan pencucian hewan yang diterkam anjing pemburu itu. Mereka menyatakan bahwa kebolehan berburu dengan anjing tidak bertentangan dengan perintah mencuci bekas jilatan, gigitan, dan terkaman. Hal itu karena adanya kekhususan bagi anjing pemburu yang terlatih.

Kedua kitab syarah tersebut melakukan pengecualian air liur dan bekas gigitan serta cengkeraman anjing pemburu yang terlatih semata-mata karena datangnya perintah mencuci bekas jilatan itu tidak bersamaan dengan penghalalan berburu dengan anjing terlatih. Apabila setiap hukum memiliki alasan (`illat), maka perlu dijelaskan mengapa kedua kasus itu hukumnya berbeda. Perlu juga dijelaskan bagaimanakah hukumnya apabila anjing yang menjilat wadah itu adalah anjing pemburu; apakah juga wajib dicuci tujuh kali? Hewan yang diburu dengan anjing halal dimakan tanpa dicuci tujuh kali, tapi mengapa air yang dijilat oleh anjing haram diminum dan digunakan untuk yang lain, melainkan harus ditumpahkan? Dan seterusnya. Hanya saja ini sudah masuk pembahasan fikih.

Selain itu, mereka tidak menjelaskan konteks Hadits tersebut. Diriwayatkan dari Maimunah bahwa ketika Jibril menyatakan kepada Rasulullah Saw. bahwa ia tidak bisa masuk ke dalam rumah yang padanya terdapat anjing, maka Rasulullah Saw. memerintahkan pembunuhan anjing kecuali anjing untuk berburu dan penjaga ternak.[16] Ibn Al-Mughaffal meriwayatkan bahwa berkenaan dengan perintah pembantaian anjing itulah Rasulullah Saw. memerintahkan untuk mencuci tujuh kali wadah yang dijilat anjing. Ibn Al-Mughaffal juga meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. kemudian melarang pembantaian anjing kecuali anjing yang hitam legam, karena ia adalah syaitan. Selain dengan perintah pembantaian dan mencuci tujuh kali beliau berusaha menjauhkan umatnya dari anjing dengan mengecam orang memelihara anjing tanpa alasan yang benar pada setiap hari pahalanya berkurang sebanyak dua (dalam riwayat lain satu) qirâth sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Umar dan lainnya.

Jadi, konteks Hadits ini mirip dengan konteks Hadits larangan pembuatan patung atau gambar, ketika Jibril tidak mau masuk ke dalam rumah yang padanya terdapat patung atau gambar, maka beliau melarang pembuatan patung dan gambar dengan kecaman yang sangat berat, yaitu di akhirat kelak pelakunya ditekan untuk memberinya ruh.

Penutup

Pemberian lebel hukum terhadap tindakan Rasulullah Saw. oleh para penulis syarah Hadits adakalanya berdasarkan pendapat madzhabnya, seperti dalam hal mandi Ibn Baththal yang bermadzhab Maliki mewajibkan menyela-nyela rambut dan menggosok tubuh, Ibn Rajab yang bermadzhab Hanbali mewajibkan menyela-nyela rambut, berkumur, dan beristinsyaq, sedangkan Al-`Ayni yang bermadzhab Hanafi mewajibkan berwudhu, sementara Ibn Hajar al-`Asqalani yang bermadzhabkan Syafi`i bahwa yang wajib dalam mandi janabah hanyalah mengalirkan air ke sluruh tubuh, adapun tindakan selain itu adalah sunnah dalam mandi. Demikian juga dengan Hadits tentang hukum air yang dijilat anjing. [yrt]

 

Catatan Kaki

[1]Ibn Baththal, Syarh Shahîh al-Bukhâri, Maktabah Al-Rusyd, Riyad, t.t., I, hlm. 368-269.

[2]Qadhi `Iyâdh dipilih untuk melengkapi syarah Hadits dari madzhab Maliki karena ia merupakan imam dalam bidang Hadits pada zamannya.

[3] Qadhi Iyadh, Ikmâl al-Mu`lim bi Fawâ’id Muslim, II, hlm. 155-157.

[4] Ibn Rajab, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhari, Maktabhah al-Ghuraba’ al-Atsariyyah, Kairo, 1996, I, hlm. 236-241.

[5] Ibn Rajab, Fath al-Bâri, hlm. 241 -243

[6] Ibn Rajab, Fath al-Bâri, hlm. 243-245 Ketentuan ini berlaku apabila setelah rukun-rukun mandi ia tidak melakukan hal-hal yang menimbulkan hadats kecil. Sedangkan apabila ia melakukan hadats kecil, maka hadats kecilnya tidak akan hilang, sebelum berwudhu.

[7] Ali bin Ahmad bin Hajar al-`Asqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahih al-Imam al-Bukhâri, Maktabah sl-Salafiyyah, t.tp., t.t, I, hlm. 450-452.

[8]Ali bin Ahmad bin Hajar al-`Asqalani, hlm. 452-454.

[9] Al-`Ayni, Badruddin Abu Muhammad Ahmad bin Mahmud,`Umdat al-Qâri Syrah Shahih al-Bukhari, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, III, hlm. 283-290.

[10] Hadits ini diriwayatkan dalam seluruh al-kutub al-sittah dengan beberapa redaksi dan bersumber dari beberapa orang sahabat, di antaranya Abu Hurairah, Ibn Umar, dan Ibn Al-Mughaffal. Al-Turmudzi menilai Hadits ini shahih. Bila diperhatikan jumlah periwayatnya dari kalangan sahabat, maka Hadits ini dengan berbagai redaksinya termasuk Hadits masyhur. Salah satu redaksi Hadits dimaksud adalah,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يُغْسَلَ سَبْعَ مِرَارٍ أُولاَهُنَّ بِتُرَابٍ /صحيح مسلم رقم 279/

Redaksi lainnya antara lain,

عن ابن المغفل قال : أمر رسول الله صلى الله عليه و سلم بقتل الكلاب ثم قال ما بالهم وبال الكلاب ؟ ثم رخص في كلب الصيد وكلب الغنم وقال إذا ولغ الكلب في الإناء فاغسلوه سبع مرات وعفروه الثامنة في التراب/صحيح مسلم رقم 280/

[11] Al-Syafi`i dalam Al-Umm (Dar al-Ma`rifah, Beirut, 1393 H, I, hlm. 6) menegaskan bahwa kenajisan babi ditetapkan berdasarkan qiyas kepada kenajisan anjing.

[12] Malik bin Anas, Al-Mudawwanah Al-Kubrâ, Dar Shadir, Beirut, t.tp., I: 5. Ia beralasan bahwa anjing adalah hewan yang dilegitimasikan oleh syari`ah sebagai sarana untuk berburu.

[13] Al-`Asqalâniy, Fath Al-Bârî Syarh Shahîh Al-Bukhârî.

[14] Al-Syawkani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Abdullah, Nayl al-Awthâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr Min Ahâdîts al-Ahyâr, Dar Al-Fikr, 1994, I/I, hlm. 43.

[15] Muhammad Al-Hudhari, Ushul Al-Fiqh, Dar Al-Fikr, Beirut, Cet. Ke-7, 1981, hlm. 6.

[16] Al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, I, hlm. 659-660.

 

Daftar Bacaan

Abadi, Muhammad Syamsul Haqq Al-`Azhim, `Awn al-Ma`bâd Syarh Sunan Abî Dâwûd, Al-Maktabah Al-Salafiyyah, 1979.

Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-, Fath al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Ri’asat Idarat al-Buhuts Al-`Ilmiyyah wa Al-Ifta’ wa Al-Da`wah, Saudi Arabia, t.t.

Asyqar, Muhammad Sulaiman Al-, Af`al al-Rasul Saw. wa Dilalatuha `ala al-Ahkam al-Syar`iyyah, Al-Manar Al-Islamiyyah, Kuwait, 1878.

Busti, Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad Al-Khaththabi Al-, Ma`alim al-Sunan Syarh Sunan Abi Dawud, Al-Maktabah Al-`Ilmiyyah, Beirut, 1981.

Ghazali, Abu Hamid Al-, Al-Mustashfa, Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut, 1413 H.

Ghazali, Muhammad, Kritik Atas Hadits Nabi Saw., Mizan, Bandung, Cet. II Th. 1992.

Ibn Qutaibah, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim, Ta’wîl Mukhtalif al-Hadîts, Dar al-Jil, Beirut, 1972.

Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakariyya Al-, Aujaz al-Masalik, Dar al-Fikr, Beirut, 1989.

Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Dar al-Nafa’is, Beirut, 1986.

Khan, Muhammad Mushthafa Sa`id al- (et.al.), Nuz-hat al-Muttaqîn Syarh Risyâdh al-Shalihîn Min Kalâm Sayyid al-Mursalîn, Mu’assasah Al-Risalah, Beirut, 1993.

Khudhari, Muhammad Al-, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Cet. VII, 1981.

Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta, Teraju, 2003.

Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’ân (Terj. Mathori Al-Wustho, Dialektika Kosmos dan Manusia, Dasar-dasar Epistemologi Qur’ani), Nuansa Cendekia, Bandung, Cet. I, 2004.

Syuhudi, Ismail, Hadits Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma`ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta, Bulan Bintang, Cet. I, 1994.

Maliki, Al-Hafizh Ibn al-`Arabi Al, `Aridhat al-Ahwadzi bi Syarh Shahih Al-Turmudzi, Dar al-Fikr, t.t.

Mubarakfuri, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-, Tuhfat al-Ahwadzi Syarh Jâmi` al-Turmudzi, Dar al-Fikr, t.t.

Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah, Rajawali Press, Jakarta, 1999.

Muhammad A. Khalafullah, Al-Fann al-Qashashy fî al-Qur’ân al-Karîm, Paramadina, Jakarta, Cet. I, 2002.

Muhammad Abdul `Athi Muhammad Ali, Mabâhits al-Ushûliyyah fî Taqsîmât al-Alfâzh, Dar al-Hadits, Kairo, 2007.

Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, t.t.

Nuruddin `Itr, Fî Zhilâl al-Hadîts al-Nabawi: Dirasast Fikriyyah Ijtima`iyyah wa Adabiyyah Jamaliyyah Mu`ashirah, t.p., 2000.

Qardhawi, Yusuf Al-, Kaifa Nata`âmalu ma`a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Ma`âlim wa Dhawâbith (Terj. Muhammad Al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadits Nabi Saw.), Karisma Bandung, 1993

Syirazi, Shadruddin Muhammad bin Ibrahim Al- (Mulla Shadra), Syarh Ushûl al-Kâfi, Mu’assasah Muthâla`ât wa Tahqîqât Frinky, Teheran, 1344.

Syawkaniy, Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-, Nayl al-Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar Tahqiq Shidqi Muhammad Jamil al-`Aththar, Dar al-Fikr, Lebanon, 1994.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *