Adab

Memahami Khidmat Para Ulama pada Ilmu

Membaca khidmat para ulama pada ilmu yang di luar nalar kita yang lemah, kadang kita malah sibuk bertanya-tanya mengapa itu terjadi pada mereka (para ulama) dan apakah hal itu tepat atau tidak, apakah itu tidak berlebihan, dll. Sementara kita tidak bisa menangkap pesan pentingnya. Apa? Khidmat pada ilmu yang total. Begitulah seharusnya kita. Bentuknya? Silahkan kita bisa takar kemampuan kita masing-masing.

Pada diri para ulama, Allah titipkan ilmu yang melampaui orang-orang pada zamannya. Di antara para ulama hafal al-Quran, ribuan Hadits, berbagai matan kitab sejak usia belia.

Ikhwah fillah bagaimana kalau kita baca biografi para ulama di era Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in? Apakah akan terperanjat sampai berteori bahwa itu tidak baik? Demi Allah itu sikap yang tidak tepat. Silahkan baca kitab Siyar A’lam an-Nubala karya Imam adz-Dzahabi, atau yang kontemporer karya syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah (Shafahat min Shabril Ulama atau Qimah az-Zaman ‘indal Ulama).

  • Ada ulama (tidak semua) yang tidak menikah sepanjang hidupnya dan diduga demi ilmu, karena rihlah ilmiah yang menghabiskan waktu, berpindah dari satu negeri ke negeri lain. Khidmat semacam itu rupanya telah mewariskan kitab-kitab hadits yang sangat berharga untuk kita. Apakah kita akan berteori itu tidak sesuai sunnah?

 

  • Amir bin Qais (tabi’in) menolak ajakan temannya untuk sekedar berbincang-bincang. Beliau meminta temannya untuk menahan laju waktu, baru beliau akan terima ajakan ngobrol. Apakah kita akan katakan itu berlebihan?

 

  • Ada ulama yang melakukan rihlah ilmiah dari satu negeri ke negeri lain demi mengumpulkan hadits. Imam Makhlad berjalan dari Eropa ke Baghdad. Imam Ahmad keliling dunia 2 kali demi menyusun Musnadnya. Ada yang sampai kencing darah dua kali karena kelelahan dan kehausan dalam rihlah. Ada juga yang sampai bangkrut kehilangan hartanya. Apakah akan kita katakan itu berlebihan? Demi Allah, berkat khidmat seperti itu, umat setelahnya mendapatkan warisan berharga berupa kitab-kitab hadits.

 

  • Waktu terberat bagi Khalil bin Ahmad adalah waktu makan. Abu Hilal Al-Askari menyebutkan dalam kitabnya Al- Hatstsu ‘ala Thalabil ‘Ilm wal Ijtihad fi Jam’ihi, hal. 87, “Khalil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Bashri adalah salah seorang ulama paling cerdas, lahir tahun 100 H dan wafat tahun 170 H. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya. Beliau pernah berkata, ‘Waktu yang paling berat bagiku adalah waktu makan’.” Allahu Akbar! Duhai, betapa fananya dunia ini dalam ilmu yang dimilikinya. Betapa hebat kecemburuan atas lenyapnya manfaat waktu di sisinya.

 

  • Ubaid bin Ya’isy (w. 229 H) disuapi makan malam oleh saudara perempuannya selama 30 tahun demi menulis hadits. Al-Hafizh Dzahabi menceritakan dalam kitabnya Siyar A’lamin Nubala’, terkait dengan biografi ahli hadits besar, Ubaid bin Ya’isy, gurunya Imam Bukhari dan Imam Muslim, sebagai berikut, “Beliau adalah seorang hafizh yang hujjahnya pilih tanding, Abu Muhammad Ubaid bin Ya’isy Al-Kufi Al-Mahamili Al-Aththar.” Ammar bin Raja’ menceritakan, “Aku pernah mendengar Ubaid bin Ya’isy menuturkan, ‘Selama 30 tahun aku tidak makan malam dengan tanganku sendiri. Saudara perempuankulah yang menyuapiku, sementara aku terus menulis hadits’.

Dan lain-lain. Silahkan baca di kitab-kitab Biografi para ulama seperti yang saya sebutkan di atas.

Apakah semua kisah tersebut fiktif? Demi Allah itu semua nyata. Ada riwayatnya dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ketika membaca khidmat total para ulama, lantas apa yang harus kita lakukan? Pertama, memuji Allah karena Allah menakdirkan ada orang-orang yang dipilih-Nya untuk dititipi ilmu yang melebihi capaian orang pada zamannya. Berkat mereka ilmu-ilmu syariah terjaga kemurniannya.

Apa lagi? Kedua, kita harus belajar mengambil pelajaran dengan melakukan pengorbanan terbaik kita, khidmat pada ilmu dan ummat. Meski tidak mampu menyamai mereka, paling tidak pada kadar maksimal yang kita lakukan.

Hari ini, dengan izin Allah, masih ada orang yang meninggalkan pekerjaan, rumah dan kendaraan yang mapan, dan berbagai fasilitas dunia lainnya demi fokus pada ilmu. Karena pada titik tertentu, ilmu tidak bisa dipelajari secara sampingan.

Yuana Ryan Tresna

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *